MalinauTerkini.com – Teatrikal Akan Nu Akion menampilkan kisah lahirnya Iluuy sebagai pangan tradisional Dayak Tenggalan dalam rangkaian Irau Malinau ke-11, Rabu (15/10/2025).
Pertunjukan ini bukan sekadar tontonan. Melainkan kepingan ingatan kolektif, perjalanan budaya, dan cara masyarakat Tenggalan bercerita tentang asal-usul pangan yang mereka jaga hingga kini.
Legenda Dua Bersaudara
Narasi dibuka dengan kisah dua saudara: Mamuluk Belayung dan Langkalawan. Mereka hidup sederhana, bergantung pada kebun untuk bertahan hidup. Namun, tanah yang mereka kelola suatu hari tak lagi menghasilkan apa pun.
Suatu malam, sang kakak bermimpi didatangi sosok kakek tua. Dalam mimpi itu, sang kakek berkata bahwa sumber pangan sebenarnya sudah ada, hanya belum tampak di mata manusia. Ada satu jalan untuk menumbuhkannya, tetapi jalan itu menuntut pengorbanan paling besar.
“Kamu harus mengorbankan adikmu,” pesan sang kakek dalam mimpi.
“Teteskan darahnya mengelilingi kebun hingga habis. Jika darah terakhir menyentuh tubuhnya, kehidupan akan tumbuh.”
Sang kakak dilanda pergulatan batin. Akal menolak, hati berontak, tetapi tanggung jawab terhadap masa depan masyarakat jauh lebih besar daripada dirinya sendiri. Ia memilih taat.
Di tengah kebun, sang kakak menusuk adiknya. Darahnya ia teteskan mengelilingi lahan perlahan, setiap langkah adalah luka. Saat darah terakhir jatuh dan menyentuh tubuh sang adik, keajaiban terjadi.
Tumbuhnya Kehidupan dari Pengorbanan
Dari tubuh sang adik, tumbuhlah umbi-umbian, padi dan berbagai tanaman sumber pangan. Rambutnya menjelma batang ubi. Urat jarinya menjadi tunas. Warna kulitnya berubah menjadi daging umbi yang putih.
Sejak saat itu, masyarakat Dayak Tenggalan percaya bahwa setiap pangan yang mereka nikmati mengandung jejak cinta, pengorbanan dan harapan.
Penonton terdiam, sebagian terpekur. Legenda itu tidak hanya menyentuh rasa, tetapi menanamkan pesan: pangan lahir dari pengorbanan mendalam, bukan dari kemudahan.
Menanam Harapan di Tanah
Cerita berlanjut ke generasi berikutnya. Kaum laki-laki muncul membuka lahan hutan perawan. Mereka menebas semak, membersihkan batang kayu dan membakar sisa ranting untuk menyiapkan tanah.
Setiap gerakan panggung tampak penuh tenaga, menggambarkan kerja keras yang tak pernah ringan. Benih Iluuy ditanam, disiram dan dijaga selama enam bulan.
Koreografi para aktor menampilkan musim yang berganti, dari hujan ke kemarau, dari rindu panen ke rasa cemas akan gagal. Namun, kesabaran melahirkan hasil.
Perempuan Penjaga Rasa
Ketika panen tiba, perempuan mengambil peran. Mereka mencuci umbi menggunakan serabut rotan, memarut hingga halus, lalu mengolahnya menjadi natok sebagai bahan dasar.
Proses pemerasan dilakukan perlahan untuk memisahkan air dan sari pati. Air tersebut diendapkan seperempat hari. Di dasar wadah, terbentuk lapisan putih halus: sagu, atau yang disebut Iluuy.
Detail proses ini diperagakan nyata di panggung. Penonton menyaksikan bahwa makanan tradisional bukan sekadar resep, melainkan pengetahuan turun-temurun yang melibatkan kesabaran dan kecermatan perempuan.
Kalong dan Perjalanan Pangan
Setelah natok siap, laki-laki kembali tampil membawa kalong atau bekang, alat angkut tradisional menyerupai ransel.
Kalong bukan hanya alat, melainkan simbol. Ia memikul berat, menembus hutan, menghubungkan ladang dan kampung. Dalam budaya Tenggalan, kalong adalah gambaran ketahanan dan gotong royong.
Tidak heran, kalong berukuran 1,5 x 4 meter bahkan diusulkan meraih rekor MURI sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur.
Iluuy dalam Kehidupan Kini
Iluuy tidak berhenti sebagai pangan masa lampau. Ia terus hidup dalam dapur masyarakat Tenggalan, hadir dalam makanan utama, kue basah hingga kue kering.
Sebelum kutipan, narasi menekankan bahwa kuliner ini bukan sekadar rasa, tetapi identitas yang berkembang mengikuti zaman.
Narator sekaligus penyusun skenario Akan Nu Akion, Yonatan menegaskan teatrikal ini menggambarkan perjalanan budaya yang panjang.
“Iluuy ini makanan tradisional kami masyarakat Dayak Tenggalan. Tadi ditampilkan bagaimana prosesnya, termasuk peran-perannya. Umbi-umbian bisa diolah menjadi beragam jenis kuliner,” ujarnya seusai pementasan, Rabu (15/10/2025).
Ia menceritakan bagaimana tangan perempuan mampu mengubah bahan sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa.
“Contohnya di kami bisa diolah menjadi bubur cair, kami sebutnya kinikutil, kemudian inaluk dan tinikaap,” katanya.
Bubur (kinikutil), kue kering (inaluk) hingga keripik (tinikaap) kini menjadi identitas rasa Dayak Tenggalan yang diwariskan lintas generasi.
Pesan dari Panggung
Teatrikal Akan Nu Akion tidak hanya menghadirkan keindahan artistik, tetapi menyampaikan petuah yang dalam. Masyarakat diingatkan agar tidak boros, menghormati pangan dan menjaga alam.
Cerita dua bersaudara menanamkan nilai syukur, pengorbanan dan tanggung jawab.
Warisan yang Terus Hidup
Iluuy adalah makanan. Iluuy adalah cerita. Iluuy adalah identitas. Dalam setiap butirnya, tersimpan tanya: seberapa dalam masyarakat menghargai apa yang mereka makan?
Akan Nu Akion menjawab tanya itu melalui panggung, mengajak penonton melihat makanan bukan sebagai benda, tetapi sebagai warisan jiwa.
Budaya Dayak Tenggalan tidak hanya diceritakan. Ia dihidupkan kembali, dirasakan dan diteruskan.
Dan di malam itu, penonton pulang bukan hanya membawa tontonan, tetapi pemahaman: pangan adalah pengorbanan, kerja keras dan cinta.
(Maya)

Maya adalah jurnalis MalinauTerkini.com yang meliput isu-isu pemerintahan, kecelakaan lalu lintas, layanan publik, dan dinamika sosial masyarakat di Malinau, Kalimantan Utara. Sejak bergabung pada 2022, ia aktif melakukan peliputan langsung dari lapangan dan menyajikan laporan yang akurat serta terverifikasi.




