MalinauTerkini.com – Masyarakat Dayak Tenggalan tak hanya datang untuk tampil di panggung Irau Malinau 2025.
Mereka datang dengan sesuatu yang lahir dari keringat, keterampilan, dan cinta terhadap tradisi: Kalong raksasa berukuran 4 meter yang diusulkan sebagai Rekor MURI.
Kalong ini bukan dekorasi. Bukan replika instan. Bukan hasil mesin. Kalong ini dikerjakan secara manual selama dua minggu penuh, siang dan malam, oleh masyarakat Tenggalan sendiri.
Semua dimulai dari hutan. Warga masuk jauh ke dalam rimba untuk mencari rotan terbaik.
Rotan yang terlalu muda akan patah saat dibengkokkan. Rotan yang terlalu tua akan keras dan sulit dianyam. Pemilihan bahan menjadi tahap pertama yang sudah menguras tenaga.
Setelah dibawa pulang, rotan dibersihkan, dikupas, dan dijemur agar lentur. Rotan besar untuk rangka harus dibengkokkan dengan teknik tradisional: direndam, dipanaskan, lalu ditekan perlahan agar tidak retak. Proses ini bisa memakan waktu berjam-jam hanya untuk satu batang rotan.
Lalu dimulailah pekerjaan paling rumit: menganyam. Setiap simpul dibuat satu per satu dengan tangan. Tidak ada alat bantu modern. Anyaman harus rapat, kuat, dan simetris agar Kalong dapat berdiri kokoh. Kesalahan sedikit saja bisa membuat struktur renggang atau miring.
Rangka penyangga menjadi bagian paling menantang. Rotan utuh sepanjang beberapa meter harus dibentuk menjadi kerangka melengkung yang sesuai ukuran 4 meter. Pengrajin senior turun tangan, dibantu pemuda adat, bekerja bergantian hingga larut malam.
“Ini bukan sekadar benda besar. Ini kerja tangan kami sendiri. Semua dikerjakan manual seperti yang leluhur ajarkan,” ujar Ketua Lembaga Adat Dayak Tenggalan, Kursani.
Kalong dipilih bukan karena bentuknya unik, tetapi karena maknanya.
Kalong—atau Bekang—adalah alat angkut satu-satunya sebelum ada kendaraan. Dipakai membawa hasil kebun, kayu bakar, air, sagu, bahkan tempayan besar dari satu kampung ke kampung lain. Kalong adalah tulang punggung kehidupan masyarakat Tenggalan.
Karena itu, masyarakat tidak ingin membuat Kalong sembarangan. Mereka membangunnya dengan penuh ketelitian, rasa hormat, dan nilai sejarah. Bukan sekadar untuk rekor, tetapi untuk menunjukkan bahwa budaya bukan hanya ditampilkan, tetapi dikerjakan.
Seluruh proses dilakukan secara gotong royong. Ada yang mengambil rotan ke hutan. Ada yang mengolah bahan. Ada yang menganyam. Ada yang menyusun rangka. Kalong ini lahir dari kekuatan kolektif, bukan karya individu.
“Hari ini kami usulkan Kalong terbesar untuk dinilai sebagai Rekor MURI. Tapi lebih dari itu, ini simbol kerja keras masyarakat Tenggalan,” ujar Kursani.
Kalong raksasa itu kini berdiri megah di depan Stan Irau Malinau, menarik perhatian setiap orang yang datang.
Bagi sebagian orang, mungkin hanya objek budaya. Tetapi bagi masyarakat Tenggalan, ini adalah wujud nyata bahwa warisan bisa bertahan karena dikerjakan, bukan hanya diceritakan.
Rekor MURI hanyalah bonus. Yang utama adalah membuktikan bahwa tangan-tangan lokal masih mampu menciptakan karya besar dengan cara leluhur. Dayak Tenggalan menunjukkan: budaya bertahan bukan karena dikenang, tetapi karena diperjuangkan.
Maya






