MalinauTerkini.com – Fraksi Perjuangan Rakyat DPRD Malinau menegaskan pentingnya jaminan perlindungan atas wilayah adat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Malinau 2025–2044.
Penegasan itu disampaikan Ketua Fraksi Perjuangan Rakyat, Dolvina Damus sekaligus Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMa) Kayan Mentarang.
Fraksi gabungan Partai PDI-Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar dan Partai Hanura menyoroti sejumlah poin penting yang perlu menjadi pertimbangan untuk diintegrasikan melalui RTRW.
Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda RTRW yang menjadi cetak biru pembangunan Malinau tahun 2025 sampai dengan 2044 ini tak hanya soal instrumen spasial, juga sebagai perangkat mengukuhkan hak-bak masyarakat terutama masyarakat adat.

Hak Atas Ruang Hidup dan Legalitas Wilayah Adat
Dolvina menyatakan, RTRW harus menjamin perlindungan hukum atas wilayah adat yang diwarisi secara turun-temurun.
Dia menekankan, penetapan kawasan hutan atau konservasi tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat, mengacu prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
“Perlu jaminan hukum, bukan hanya pengakuan simbolik. Tanah adat adalah ruang hidup, bukan ruang kosong,” ujarnya.
Dolvina juga menyoroti pentingnya pengakuan terhadap permukiman adat, termasuk desa-desa yang kembali ke kampung leluhur.
Baginya, legalitas ini penting demi perlindungan identitas sosial dan budaya masyarakat.
“RTRW wajib mengakomodasi ladang, kebun, dan perikanan tradisional sebagai bagian dari ruang hidup. Bukan sekadar zona kosong dalam peta,” tegas Dolvina.
Kawasan Konservasi dan Proyek Strategis
FPR juga menyoroti posisi Taman Nasional Kayan Mentarang yang berada sepenuhnya di atas wilayah adat.
Dolvina menyebut perlu ada kepastian hukum terkait pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini dilakukan secara adat.
“Konservasi tidak boleh menghapus hak masyarakat. Negara wajib hadir mengakui dan melindungi,” ucapnya.
Perempuan yang juga Ketua Komisi 1 Bidang Pendidikan dan Kesehatan DPRD Malinau juga menyinggung proyek strategis yang dirujuk dalam Raperda RTRW. Diantaranya PLTA Long Pipa, Long Aran, Long Sule, dan Mentarang yang berdampak langsung terhadap ruang hidup masyarakat adat. Menurutnya, kebijakan tata ruang harus disertai kajian sosial dan budaya, bukan hanya pertimbangan teknis.
“Kita perlu kebijakan yang tidak mengorbankan hak adat demi investasi,” tegasnya.

Komitmen Pemerintah dan Penegakan Hukum
Fraksi Perjuangan Rakyat mendesak agar RTRW mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggaran atas wilayah adat. Bukan hanya sanksi administratif, melainkan penegakan hukum yang memberi efek jera.
“Kalau hukum lemah, pengakuan hanya jadi formalitas. Kita ingin ada pasal pidana dalam Ranperda RTRW,” ujar Dolvina.
Ia juga mengacu pada SNP Komnas HAM Nomor 15 Tahun 2023, yang menegaskan pentingnya FPIC dan partisipasi aktif masyarakat adat dalam seluruh proses penataan ruang. RTRW, kata dia, harus disusun dengan keterlibatan langsung masyarakat adat sebagai pemilik ruang.
“Kita berharap pemerintah daerah menunjukkan komitmen nyata. Hak masyarakat adat dijamin konstitusi, bukan sebatas aspirasi lokal,” pungkasnya.
Sebagai Ketua Fraksi dan Ketua FoMMA (Forum Masyarakat Adat Malinau), Dolvina memastikan akan terus mengawal substansi perlindungan wilayah adat dalam RTRW Malinau dan RTRW Provinsi Kalimantan Utara.
(Maya)

Maya adalah jurnalis MalinauTerkini.com yang meliput isu-isu pemerintahan, kecelakaan lalu lintas, layanan publik, dan dinamika sosial masyarakat di Malinau, Kalimantan Utara. Sejak bergabung pada 2022, ia aktif melakukan peliputan langsung dari lapangan dan menyajikan laporan yang akurat serta terverifikasi.




