MalinauTerkini.com – Pada masa ketika masyarakat adat Malinau hidup terpencar dalam kelompok-kelompok kecil, konflik bersenjata kerap terjadi dan istilah Ngayau atau perburuan kepala menjadi bagian kelam dari sejarah Pulau Borneo.
Tradisi tersebut bukan sekadar cerita lama, tetapi pernah menjadi kenyataan yang menimbulkan ketakutan. Perang antarsuku berlangsung berulang, dan praktik Ngayau masih melekat kuat sampai awal abad ke-20, Sabtu (11/10/2025).
Lembar sejarah mencatat, Perjanjian Kapit tahun 1924 di Sarawak, Malaysia menjadi tonggak berakhirnya pengayauan. Kesepakatan ini melibatkan berbagai suku yang mendiami Borneo dan menjadi simbol komitmen perdamaian.
Cikal bakal lahirnya perjanjian damai ini salah satunya diangkat oleh Lembaga Adat Dayak Kenyah Malinau dalam pagelaran Irau Malinau ke-11.
Dayak Kenyah di Malinau terdiri dari 10 subetnik. Pada masa lalu, pengayauan tidak hanya terjadi antarsuku, tetapi juga antar sesama subetnik Kenyah yang dikenal dengan sebutan Lepo’ atau Uma’.
Melihat terus menerusnya pertikaian, para tokoh adat Kenyah memutuskan untuk menghentikan siklus kekerasan. Kepala Adat Besar muncul sebagai figur bijak yang menyatukan seluruh subetnik melalui sebuah ritual sakral.
“Zaman dulu dikenal tradisi Ngayau. Ini umum di suku Dayak, khususnya Kenyah. Tradisi ini sering terjadi, lalu didudukkan bersama oleh Kepala Adat Besar. Upacara perdamaian ini dilakukan dengan prosesi sakral yang kami sebut Meliwa,” ujar Koordinator Upacara Adat Meliwa Dayak Kenyah Irau Malinau ke-11, Padan Impung.
Meliwa menjadi wadah penyatuan 10 subetnik Kenyah untuk mengakhiri perburuan kepala. Prosesi ini diawali dengan dramatiasi perang melalui tari dan musik yang menggambarkan suasana mencekam di masa lalu.
Gendang dan gong bertalu, penari menggambarkan konflik panjang yang melelahkan. Di tengah situasi genting, muncul sosok Kepala Adat Besar yang berperan sebagai pendamai dan penengah.
Perwakilan tiap subetnik kemudian berkumpul dan menyepakati perdamaian. Sebagai simbol rekonsiliasi, seekor rusa atau kijang disembelih. Darah hewan tersebut menjadi lambang sumpah dan pembersihan diri.
Dalam pentas Irau Malinau, tradisi ini direpresentasikan secara nyata. Seekor babi hidup dibawa ke atas panggung. Padan Impung menyembelih rusa tersebut dan menampung darahnya sebagai bagian dari prosesi perdamaian.
Darah itu lalu dipercikkan ke tubuh para tetua dari 10 subetnik sebagai pengikat janji berhenti berperang.
“Sebenarnya dalam sejarah darah itu diminum, tapi kami pertimbangkan etisnya. Intinya, ini menunjukkan betapa sakralnya ritual ini. Tetua bersepakat dan pengayauan antar 10 subetnik Kenyah berakhir,” ungkap Padan Impung.
Melalui Meliwa, Lembaga Adat Kenyah Malinau berhasil menggambarkan bahwa nilai perdamaian telah dikenal dan dijaga sejak zaman leluhur.
Semangat ini terus diwariskan kepada generasi penerus. Meliwa bukan hanya ritual, tetapi juga simbol identitas dan persatuan suku.
Kisah-kisah seperti ini sulit ditemukan dalam catatan sejarah formal. Irau Malinau hadir sebagai panggung edukasi budaya, rekonstruksi sejarah, dan kampanye damai bagi masyarakat luas, khususnya di Malinau, Kalimantan Utara.
(Maya)

Maya adalah jurnalis MalinauTerkini.com yang meliput isu-isu pemerintahan, kecelakaan lalu lintas, layanan publik, dan dinamika sosial masyarakat di Malinau, Kalimantan Utara. Sejak bergabung pada 2022, ia aktif melakukan peliputan langsung dari lapangan dan menyajikan laporan yang akurat serta terverifikasi.




