MalinauTerkini.com– Asap sesaji membubung perlahan di udara malam, mengantar mantra dalam bahasa Abai yang dilantunkan dengan khidmat. Panggung Padan Liu Burung berubah menjadi ruang sakral ketika ritual Lunau ditampilkan pada hari ke-8 Irau Malinau ke-11, Selasa (14/10/2025) di Malinau, Kalimantan Utara.
Lunau bukan sekadar pertunjukan budaya. Lunau adalah doa yang dihidupkan, panggilan spiritual kepada leluhur, dan permohonan berkah bagi kehidupan masyarakat.
Ketua Lembaga Adat Dayak Abai Malinau, Yahya Yading menegaskan bahwa setiap prosesi adat dalam Irau mencerminkan harmoni dan keyakinan masyarakat Abai untuk hidup berdampingan secara damai. Menurutnya, sajian budaya ini adalah bentuk penghargaan terhadap keberagaman dan komitmen menjaga kebersamaan antaretnis.
“Ini menunjukkan bagaimana Dayak Abai hidup berdampingan dan menegaskan bahwa nilai Pancasila benar-benar hadir dalam kehidupan masyarakat Malinau,” ujarnya.
Pernyataan itu menemukan wujud paling kuat dalam ritual Lunau, warisan leluhur Dayak Abai yang masih dijalankan dengan penuh penghormatan hingga kini.
Bagi masyarakat Dayak Abai, Lunau adalah perjanjian suci antara manusia dan alam.
Manusia menjaga hutan dan sungai, leluhur menjaga manusia dari bencana
Hutan memberi hasil buruan, sungai mengalirkan air yang menghidupi kampung. Relasi itu menjadi dasar kehidupan masyarakat Malinau sejak dulu.
Prosesi dimulai dengan penataan otos, yakni altar pemanggil leluhur. Altar ini menjadi undangan spiritual agar leluhur mengenali panggilan keturunan mereka.
Di atas altar disusun makanan sebagai persembahan pemuliaan. Di bawahnya ditempatkan tiga jenis bulak, termasuk bulak pisang dan bulak beralkohol.
Tiga jenis bulak adalah syarat mutlak. Jika syarat tidak lengkap, leluhur diyakini tidak hadir. Ketua Adat Abai Desa Sembuak, Zakaria, menegaskan makna mendalam Lunau.
“Lunau memanggil leluhur, memohon berkah, dan menjaga hutan serta sungai,” ujarnya.
Rangkaian Lunau juga menampilkan tarian-tarian penghormatan kepada leluhur. Gerakan tari dan alunan musik tradisional menyampaikan nasihat hidup, rasa syukur, dan penghormatan terhadap alam.
Puncak sakral terjadi ketika Bupati Malinau melempar nasi manasi ke arah altar. Tindakan itu menjadi simbol doa pemimpin agar Malinau dianugerahi kemajuan, kelimpahan, dan kekuatan membangun daerah.
Namun Lunau tidak hanya berbicara tentang spiritualitas. Ritual ini menyuarakan pesan kebersamaan lintas komunitas.
Doa dalam Lunau dipanjatkan untuk 11 etnis dan 15 paguyuban di Malinau. Pesan utamanya jelas: harmoni lebih kuat daripada perbedaan.
Zakaria menegaskan semangat hidup rukun dan saling menghormati. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang, karena kedamaian adalah nilai yang dijaga bersama.
Lunau juga menjadi momentum perjuangan masyarakat Abai untuk memperoleh pengakuan hutan adat dari negara. Pengajuan kini menunggu verifikasi Kementerian Kehutanan di akhir tahun atau 2026 mendatang. Harapan masyarakat sederhana namun tegas.
Hutan adat harus dikelola mandiri sesuai kearifan lokal Abai
Bagi Dayak Abai, Lunau adalah panduan etika ekologis yang relevan di masa kini. Menjaga adat berarti menjaga hutan, air, dan masa depan Malinau. Lebih dari sekadar tontonan seremonial,
(Maya)






